Belajar Menulis Esai Dan Membuat Film Bareng Sapa Sahabat Keluarga

Foto : Fuji Rahman Nugroho 

It takes a village to raise a child. Bertahun-tahun yang lalu saya mendengar peribahasa Afrika ini. Waktu itu saya tidak paham maknanya, karena saya pikir untuk mengasuh anak hanya butuh ayah dan ibu saja. Naif sekali ya. Belakangan saya baru mengerti, peribahasa ini sungguh benar adanya. Berbagai permasalahan yang dihadapi anak dan remaja seperti bullying, kecanduan gadget, tawuran, kasus narkoba, dan lain sebagainya, membutuhkan keterlibatan banyak pihak untuk mengatasinya, terutama lingkungan sekitar yang terdekat dengan anak. 

Pada tanggal 18-20 Desember 2018 lalu saya mengikuti workshop Content Creator Sapa Sahabat Keluarga yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemdikbud). Acara workshop untuk para blogger ini berbarengan dengan satu acara workshop lain yang juga diselenggarakan oleh Kemdikbud di tempat yang sama yaitu Hotel Jayakarta Yogyakarta sehingga saat pembukaan kedua grup peserta workshop ini digabung dalam satu ruangan. Acara yang seharusnya dibuka pukul 19.00 ternyata molor hingga lebih dari dua jam karena menunggu kehadiran Dr. Sukiman M.Pd, Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga dari Kemdikbud, yang pesawatnya mengalami penundaan keberangkatan dari Jakarta. Sambil menunggu pak direktur datang, dibukalah sharing session mengenai penerapan praktik baik pendidikan keluarga. Ada perwakilan dari 21 provinsi yang hadir dalam acara tersebut, dan masing-masing menceritakan kendala dan juga berbagi cerita sukses di daerahnya masing-masing.

Sharing session di acara pembukaan workshop

Yang menarik adalah cerita dari bapak perwakilan Kabupaten Sleman tentang penerapan jam belajar masyarakat antara pukul 19.00 sampai 21.00. Di jam tersebut orangtua yang memiliki anak-anak yang masih bersekolah harus mendampingi anaknya belajar. Belajar tidak hanya dalam bentuk membaca buku, bisa juga dengan kegiatan orangtua membantu anaknya membuat prakarya misalnya. Di jam tersebut orangtua dan anak memiliki waktu bersama yang berkualitas, dengan meninggalkan gadget dan mematikan televisi. 

Kebetulan saya tinggal di wilayah Kabupaten Sleman dan cukup sering mendapati plang atau spanduk bertuliskan jam belajar masyarakat ini dipasang di jalan-jalan terutama jalan kampung. Sedikit berbagi cerita, tak jauh dari rumah saya ada perkampungan yang menamakan dirinya Kampung Ramah Anak. Memasuki area Kampung Leles RW 18 ini banyak dipasang umbul-umbul warna-warni. Di beberapa sudut jalannya terpasang spanduk-spanduk bertuliskan larangan untuk anak di bawah 18 tahun mengendarai motor dan pembatasan penggunaan ponsel. Tembok-tembok kosong di samping rumah warga diberi gambar mural yang menarik. Di kampung ini bahkan ada ruas jalan yang sengaja ditutup di sore hari agar anak-anak bisa bermain di sana tanpa takut ada kendaraan yang melintas.

Ruas jalan yang ditutup agar bisa digunakan anak-anak bermain dengan aman tanpa khawatir tertabrak kendaraan

Pada saat memotret foto di atas, saya melihat sendiri ada seorang bapak menggunakan motor yang hendak masuk ke jalan tersebut. Demi melihat plang tanda larangan masuk di mulut jalan, si bapak memutar kemudi motornya dan mencari jalan lain untuk lewat. Terlihat kalau warga juga patuh dengan peraturan tersebut dan benar-benar memberi ruang yang aman untuk anak-anak bermain. Kiranya kalimat "Semua anak, anak kita" yang terpampang di salah satu spanduk di Kampung Leles adalah benar adanya. Memang untuk membesarkan seorang anak itu butuh partisipasi warga satu kampung.

Mural dengan gambar yang menarik di tembok samping rumah warga di Kampung Leles, Condongcatur, Depok, Sleman.


Workshop Menulis Esai

Acara hari kedua diawali dengan workshop Menulis Esai oleh Gol A Gong. Penulis satu ini sudah saya kenal sejak zaman remaja lewat tulisan-tulisannya di Majalah HAI. Namun saya hanya sekedar tahu namanya saja, belum pernah sama sekali melihat sosoknya secara fisik. Di ruangan workshop inilah pertama kali saya berjumpa dengannya.

Workshop menulis esai oleh Gol A Gong

Acara workshop dimulai dengan perkenalan Kang Gol A Gong. Cerita tentang dirinya mengalir ringan, padahal cerita tentang bagaimana tangan kirinya harus diamputasi saat masih kanak-kanak membuat saya tak sadar menahan napas. Sedih membayangkan seorang anak kecil terpaksa kehilangan sebelah tangannya. Namun kesedihan saya hanya sekejap saja, saat slide presentasi bergeser dan Kang Gol A Gong menceritakan deretan prestasi yang diraihnya, perasaan kagumlah yang memenuhi benak saya. Mendengarkan cerita dan menyaksikan kehidupan mandiri seorang difabel memang selalu membuat saya kagum. Ternyata sebelum terkenal sebagai penulis, Gol A Gong adalah seorang atlet bulutangkis yang prestasinya bahkan sampai menembus tingkat Asia. Di tahun 1986-1990 ia menjadi Juara Badminton Cacat Se-Asia Pasifik (sekarang Asian Para Games). Sementara di bidang penulisan ia sudah melahirkan ratusan buku dan terlibat dalam pembuatan ratusan sinetron dalam karirnya selama belasan tahun di dunia pertelevisian nasional.

Kang Gol A Gong menandatangi novel Balada Si Roy yang segera difilmkan di 2019 nanti

Dibesarkan oleh kedua orangtua yang berprofesi guru, Gol A Gong cilik dididik untuk menyukai buku dan diharuskan berolahraga setiap pagi. Buku dan olahraga, dua hal yang kelak membuatnya berhasil mengukir prestasi membanggakan. Seru sekali mendengarkan cerita si akang satu ini. Saya pikir karena profesinya penulis maka Kang Gol A Gong ini pendiam dan serius. Ternyata sebaliknya, dengan logat Sunda yang kental paparan materi yang disampaikannya berbalut candaan yang kocak.

Foto : Fuji Rahman Nugroho

Apa Dan Bagaimana Menulis Esai

Menurut Kang Gol A Gong, esai merupakan tulisan berisi opini penulis yang dituliskan dengan gaya sastra. Dalam esai, meski subjektivitas penulis tinggi, namun harus tetap berdasarkan fakta dan data. Karena termasuk dalam karya jurnalistik, esai bisa ditulis dalam kerangka 5 W+1 H (Who, What, Where, Where Why, How). Jadi menulis esai itu ndak boleh asal njeplak ya, apalagi kalau isinya mengandung hoaks. Wah, ngawur banget kalau seperti itu.

Sesi games menguji kekompakan

Esai bisa berisi kritikan terhadap situasi di sekitar kita. Saran Kang Gol A Gong, saat kita merasa gelisah mengenai suatu hal di kehidupan ini, daripada stres, tulis saja esai. Namun berbeda dengan kritikan yang sekedar nyinyir saja seperti yang sering saya temui di status medsos, dalam sebuah esai hendaklah terkandung solusi akan permasalahan yang kita kritik. Meski isinya adalah kritik, jangan takut menulis esai karena kebebasan mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan itu dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 dan Pasal 29 Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia juga menjamin hal tersebut. Yang penting harus selalu diingat adalah kita wajib memegang teguh prinsip bebas bertanggung jawab, menulis sesuai fakta dan data, serta tidak memfitnah.

Foto : Fuji Rahman Nugroho

Proses Penulisan Esai

Sama seperti karya tulis lainnya, menulis esai juga melalui beberapa tahapan proses, yaitu :

1. Persiapan Menulis.
  • Riset lapangan : survei langsung ke lokasi, melakukan wawancara dengan orang-orang di sekitar lokasi.
  • Riset pustaka : untuk memperkuat tulisan kita bisa mencari rujukan dari internet (penelusuran secara online di Google, Wikipedia, website) dan perpustakaan (melalui buku, koran, dan majalah).
Riset lapangan ke Transmart Maguwo.
Foto : Carolina Ratri

2. Menulis.
  • Menentukan tema : disesuaikan dengan target pembaca. Tema mengandung tesis dan disertai dengan pembuktian (fakta dan data).
  • Menentukan judul : dalam kaitannya dengan esai untuk dimuat di media surat kabar, buatlah judul yang terdiri dari maksimal empat kata. Hal ini bertujuan untuk memudahkan proses lay out oleh bagian artistik. Hal yang penting dalam memilih judul : buatlah judul yang mengundang tanya dan memancing imajinasi pembaca, karena judul adalah daya tarik pertama bagi pembaca untuk meneruskan membaca esai yang kita buat.
  • Menentukan sudut pandang penulisan : menulis esai dengan sudut pandang tokoh "aku" atau tokoh rekaan lain akan membuat tulisan kita lebih menghibur dan tidak menggurui. Contohnya, esai karya Emha Ainun Najib yang menggunakan tokoh "Kiai" dan "Markesot".
  • Menulis tubuh esai : menggunakan outline dengan plot maju. Format esai : judul - masa lalu - masa sekarang - masa depan. Format ini bukan merupakan pakem yang kaku, jadi kita bisa membolak-balik urutannya (masa lalu hingga masa depan), namun porsi terbanyaknya tetap di masa sekarang. Jangan lupa, berikan saran atau solusi dalam esai yang kita buat.
3. Revisi.
Setelah selesai menulis, baca ulang tulisan kita dan lakukan revisi jika dirasa masih ada yang kurang atau perlu diperbaiki. Bisa juga dengan meminta orang lain yang dirasa kompeten untuk membaca tulisan kita dan minta masukan darinya. Penulis sekelas Gol A Gong saja masih meminta sang istri yang juga seorang penulis, untuk membaca tulisannya dan melakukan revisi sesuai saran dari sang istri. Kadang kala revisi tidak cukup dilakukan satu kali. Menurut Gol A Gong, karya yang baik sejatinya adalah yang melalui beberapa kali revisi, tak cukup dengan sekali revisi saja.

Sesi foto bersama dengan pemateri workshop menulis esai, Gol A Gong.
Foto : Nuzulul

Workshop Membuat Film

Masih di hari kedua, workshop Content Creator Sapa Sahabat Keluarga dilanjutkan dengan materi pembuatan film oleh M. Iqbal dari Film Maker Muslim. Sore itu kami diajak ke Tebing Breksi. Rupanya pengantar materi akan diberikan Mas Iqbal di sana. Hanya dibekali sedikit materi pembuka, kami malah disuruh langsung praktek membuat video menggunakan ponsel dengan tema "bebas". Bersama tiga orang anggota kelompok saya, yaitu Mbak Carra, Mbak Indah, dan Mak Irul, kami berupaya menyelesaikan tugas sebaik mungkin meskipun, jujur saja, kami berempat buta soal membuat video yang bagus :D Berikut ini adalah video karya kelompok kami :



Kesulitan kami saat membuat video ini adalah menghilangkan suara deru angin. Keesokan harinya, saat penyampaian materi pembuatan film, Mas Iqbal memberikan solusi untuk hal tersebut, yaitu dengan cara di-dubbing. Agak repot memang, tapi kalau memang situasi tidak memungkinkan untuk take ulang adegan, dubbing memang bisa jadi solusi jitu.

Tebing Breksi yang menakjubkan

Mas Iqbal membuka materi hari terakhir dengan menayangkan film Cinta Subuh yang merupakan hasil garapan Film Maker Muslim. Film yang ditayangkan di Youtube ini sampai pertengahan Desember 2018 jumlah viewers-nya sudah lebih dari 2 juta. Film ini menjadi bukti bahwa film ber-budget rendah juga bisa menghasilkan impact yang besar. Menurut penuturan Mas Iqbal, film ini dibuat dengan budget 200 ribu rupiah saja, dengan melibatkan 3 orang talent dan 4 orang kru film. Wow!

Workshop membuat film oleh M. Iqbal.
Foto : Fuji Rahman Nugroho

Materi berlanjut dengan pemaparan mengenai tahapan pembuatan film, sumber pendanaan untuk pembuatan film, pengaturan budget, tim yang diperlukan dalam pembuatan film, hingga teori mengenai komposisi sinematografi. Banyak memang hal-hal yang harus kita ketahui sebelum membuat film dan tentu saja itu semua tidak bisa langsung dikuasai hanya dengan sekali mengikuti workshop semacam ini. Namun tak dipungkiri bahwa workshop ini mampu membuka wawasan saya mengenai cara membuat film dan apa saja yang harus diperhatikan saat pembuatan film. Sekarang saya jadi paham kenapa pembuatan film itu butuh waktu lama, yang syutingnya saja kadang butuh waktu berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun.


Sesi foto bersama pemateri workshop membuat film, M. Iqbal.
Foto : Fuji Rahman Nugroho


Laman Sahabat Keluarga

Saat penutupan acara workshop Content Creator Sapa Sahabat Keluarga ini perwakilan dari Kemdikbud menyebutkan bahwa dari penyelenggaran workshop ini diharapkan kami para blogger bisa berpartisipasi mengisi laman Sahabat Keluarga dengan tulisan-tulisan bertema pendidikan anak dan keluarga. Disebutkan pula bahwa selama ini konten yang masuk ke email Sahabat Keluarga bertema pengasuhan remaja masih sangat jarang.

Adapun tujuan penyelenggaraan acara Sapa Sahabat Keluarga dengan mengundang komunitas seperti komunitas blogger ini adalah agar para anggota komunitas dapat berkontribusi membuat konten-konten positif di media sosial. Jadi tak hanya di Jogja, acara Sapa Sahabat Keluarga bisa juga hadir di kota lain. Siap-siap ya, siapa tahu berikutnya adalah giliran kotamu ;)


- arry -



Seusai sesi olahraga yoga bersama founder KEB, Mira Sahid, di hari kedua workshop.
Foto : Hamdani

Kelompok 6 sedang melakukan syuting membuat video di Tebing Breksi

Anggota kelompok 6 saat pembuatan video di Tebing Breksi.
Kiri - Kanan : saya, Mbak Carra, Mbak Indah, Mak Irul.





You Might Also Like

22 komentar

  1. Emak-emak memang selalu lebih komplit bin lengkap kalau soal menulis catatan pelajaran, jadi mudah mengingat kembali apa yang didapat di worksop. Saatnya untuk menuliskan esai, monggo....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal waktu sekolah dulu saya termasuk yang malas nyatet pak. Haha

      Hapus
  2. Sleman keren yaa mbakk, bisa bikin peraturan2 yang pro terhadap pendidikan anak.

    Semoga saja di daerah yang lain segera menyusul.
    Senang rasanya jika pemerintah mensupport kita semua dalam mendidik anak.

    Semua anak, anak kita.
    Semoga kesadaran ini juga makin meluas di masyarakat kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang Sleman emang keren2 kan mbak. Hahaha.....ngalem dewe

      Hapus
  3. Ya ampuuuun keren sekali orang-orang Sleman itu yak? Bahkan utk urusan jam bermain pun ada keterlibatan orang tua bikin aturannya ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya doooonngg....emang orang Sleman tuh keren2. Hahaha

      Hapus
  4. Semoga setelah ini kita bisa jadi content creator yang baik yaa, mak

    BalasHapus
  5. Hwaaa jam bermain ya? Disini belum ada, kudu diadain nih. Soalnya rumahku pas tikungan. Itu jam orang pulang kantor kalau lewat suka klakson semena-mena, padahal kan di kampung, banyak anak & bikin kaget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kejar maklus, jitak aja yg suka nglakson2 bikin kaget. Hihi

      Hapus
  6. Wuih..lengkap bingits reportasenya, marai raiso move on haha.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Welaaa.....bu sisri ternyata susah move on. Sepertinya teringat-ingat terus sama pak sosro ya. Hahaha

      Hapus
  7. Ini mah komplit banget reportasenya. Seru ya acaranya..pengen deh ikutan gini lagi di Yogya, biar ketemuan lagi kita. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, seneng ya kalo ikutan acara kayak gini bisa ketemu teman baru dari berbagai kota :)

      Hapus
  8. Dirimu penyimak yang baik mba...hasil reportasenya komplit banget.. btw, kelompoknya mb arry videonya keren lho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keren tapi tetep nggak menang mbak. Kalah sama yang hapenya ciamik dan videografernya jago bikin video. Hahaha

      Hapus
  9. aku kagum dan terkesan dengan kampung ramah anaknya itu mbak, semoga bisa kerjasama dengan pemdes sini untuk aplikasikan kampung rama anak di kampungku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, semoga bisa lebih banyak kampung-kampung di Indonesia yg menerapkan konsep Kampung Ramah Anak seperti ini ya ;)

      Hapus
  10. Keren...semoga konsep Kampung Ramah Anak bisa menyebar ke kampung-kampung lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Semoga bisa diikuti oleh semua kampung di Indonesia ya :)

      Hapus
  11. Bagus bgt Kampung ramah anaknya ,semoga bisa jadi panutan dan dpt diterapkan dimana2. Acaranya seru ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru banget mbak. Banyak peserta yg susah move on setelah selesai acara. Haha

      Hapus

Komentar Anda dimoderasi. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya :)

Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar dan saya akan membalasnya. Sering-sering berkunjung ya, untuk mengecek dan membaca artikel lainnya di blog ini. Terima kasih. Maturnuwun. Thank you. Danke.