Kedai Kopi Favorit Kami Di Jogja



Ada satu tempat ngopi yang sering banget saya dan PakSu kunjungi. Tempatnya nyaman? Biasa aja sih, cenderung panas malah, karena tidak ber-ac. Kopinya enak? Iya. Harganya? Murah. Mungkin poin terakhir ini yang jadi trigger kami bolak-balik ke sana. Hahaha. Di situ ada program Ayo Ngopi Pagi. Di pagi sampai tengah hari, setiap hari, dengan harga mulai dari Rp.8.000 pengunjung sudah bisa menyesap kopi berkualitas yang dibuat di mesin espresso. Di siang hingga malam hari harga kopinya kembali normal, dengan porsi yang lebih banyak pula dibanding yang pagi. Namun harga normalnya pun masih di bawah harga di kedai kopi lainnya di Jogja. Saya rasa karena pangsa pasarnya adalah mahasiswa, maka harga menjadi pertimbangan saat mereka menawarkan produknya. Yap, lokasinya memang di area kampus, jadi nggak aneh lihat pemandangan di tiap meja dipenuhi mahasiswa yang asik mengobrol, berdiskusi, mainan hp, membaca buku, menggambar sketsa, dsb. Bahkan beberapa kali saya melihat sekelompok mahasiswa yang asik mengobrol sambil sesekali menatap laptop masing-masing, membaca setumpuk buku arsitektur, mencoret-coret gambar di sketch book, oh....rupanya mereka sedang mengerjakan tugas kelompok.
What is better than a cup of coffee? Two cups! :D

Pemandangan seperti ini yang saya suka dari tempat ini dan selalu ingin bolak-balik ke situ. Interaksi akrab antar manusia yang selalu hadir di tempat ini, membuat saya betah berlama-lama duduk di bangku kayunya dan menikmati atmosfir keakraban manusia di dalamnya. Sayangnya, belakangan ini dengan semakin bertambah ramainya pengunjung, saya jadi sering tidak bisa berlama-lama. Bukan apa-apa, saya tidak tahan dengan asap rokok dan tidak ada area bebas rokok di sini. Kopi dan rokok, sudah seperti pasangan sehidup semati ya kalau buat orang Indonesia.

Messy table, huh?

Tak hanya interaksi akrab di antara pengunjung, para barista dan petugas bagian dapur (tempat ini  juga menyediakan makanan berat, selain aneka minuman dan snack) juga sangat akrab satu sama lain. Gaya mereka bercanda dan saling sapa, tidak selalu saya saksikan ada di kedai kopi lain. Di sini suasananya terlihat hangat, kadang sedikit ribut namun tidak terlihat asik sendiri. Padahal kalau diperhatikan, tingkat turn over para baristanya cukup tinggi. Sering berganti-ganti orang, namun keakrabannya tetap sama. Belakangan saya tahu kalau banyak di antara mereka adalah barista paruh waktu. Ada yang statusnya mahasiswa, dan sebagian lainnya saya tidak tahu apa profesi utamanya. Yang lucu, banyak baristanya yang sudah tidak bekerja lagi di situ namun masih tetap sering datang berkunjung dan menikmati kopi di tempat ini.

Apple pie-nya enak. Kalau nggak suka disajikan dingin, bisa minta dihangatkan di microwave dulu.

Bisa dibilang proses kami belajar menikmati kopi berlangsung di tempat ini. Di tempat inilah kami yang tadinya hanya tahu rasa kopi sachet lalu mengenal rasa kopi single origin. Yang awalnya kalau minum kopi harus pakai gula, di sini kami akhirnya "naik kelas" bisa menikmati enaknya kopi tanpa gula. Haha. Saya tidak tahu kapan persisnya kedai kopi ini berdiri. Yang jelas, kami mengetahui kedai kopi ini sejak masih sepi pengunjungnya dan masih menggunakan nama yang lain. Dua tahun terakhir ini terjadi booming bisnis kedai kopi di Jogja. Di ruas jalan yang ramai, dengan jarak tidak sampai 1 km bisa berdiri 2-4 kedai kopi yang berbeda-beda. Ada yang sanggup bertahan lama, namun tak sedikit  yang tumbang dalam waktu singkat. Kedai kopi favorit kami ini termasuk survivor. Berdiri jauh hari sebelum booming kedai kopi melanda Jogja, lalu sempat tutup beberapa waktu, kemudian buka kembali dengan melakukan rebranding.

Cold brew. Termasuk favorit saya.

Kedai kopi ini memiliki coffee roastery sendiri, dan juga membuka kelas seduh. Dua hal ini yang menurut pengamatan kami turut mendorong berputarnya roda bisnis kedai kopi ini. Saya dan si PakSu kerap membahas model bisnis kedai kopi ini karena menurut kami ini unik. Bagaimana mungkin sebuah kedai kopi dengan peralatan kopi modern begitu rupa (yang harganya saya intip di online shop juga tidak bisa dibilang murah), bisa menjual produk dengan harga demikian murah dan tetap berkualitas. Kami kerap berpikir, apa ya nggak rugi. Tapi nyatanya kedai kopi ini tetap bertahan tuh. Perkiraan kami, bisnis coffee roastery itulah yang merupakan bisnis intinya, mengingat banyaknya kedai kopi yang bermunculan di Jogja dan di banyak kota lain, dan kemungkinan coffee roastery di kedai kopi ini turut menyuplai stok kopi ke kedai-kedai kopi lainnya. Sementara dari kelas seduhnya bermunculan barista-barista baru yang bukan tidak mungkin juga membuka kedai kopi dan membutuhkan stok kopi. Ini pula yang turut memperpanjang napas bisnis di kedai kopi ini.

Tapi ini semua hanyalah analisa kami lho, yang belum tentu benar juga. Hehehe. Padahal kalau mau, tinggal nanya aja ke pemiliknya soal analisa bisnis ini, toh kami juga cukup sering bertemu dengannya ketika berkunjung ke kedai kopi ini. Ah tapi, buat kami lebih asik mengamati dan menganalisa sendiri. Ya, mengamati. Aktifitas yang kami sukai di sini selain minum kopi itu sendiri. Dan membuat hati tertarik untuk kembali lagi ke sini.

Oh ya,
Studio Kopi, itu nama kedai kopinya.


Update : mulai Januari 2019 Studio Kopi membuka area non-smoking yang lokasinya berseberangan dengan kedai kopinya yang lama. Di area non-smoking ini ruangannya ber-ac, jadinya adem deh.


- arry -





Studio Kopi
Komplek Ruko Babarsari no 5, 
Jl.Babarsari, Yogyakarta
Jam Buka : 08.00-23.00 WIB
Instagram : @studiokopi

You Might Also Like

0 komentar

Komentar Anda dimoderasi. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya :)

Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar dan saya akan membalasnya. Sering-sering berkunjung ya, untuk mengecek dan membaca artikel lainnya di blog ini. Terima kasih. Maturnuwun. Thank you. Danke.